Manunggaling Kawula Gusti ( Al-Insan Al Illahiyyah)

Dalam pandangan sufisme, Tuhan merupakan esensi. Syekh Siti Jenar dan seluruh kaum sufi pada umumnya memiliki rumusan yang demikian. Hal itu memungkinkan “masuknya” Tuhan pada diri manusia: manunggal, hulul, fana’ atau apapun namanya. Karena nama atau sebutan sebenarnya bukan mengacu pada pengalaman yang diperoleh, tetapi lebih mengacu pada proses yang ditempuh. Sama halnya antara kunci dengan gemboknya. Bisa saja dikatakan gembok dimasuki kunci, atau kunci masuk ke gembok. Karena memang kadang kunci dulu yang dipegang baru gemboknya. Dan kadang juga gembok dulu dipegang baru meraih dan memasukkan kunci.

Tiga Jalan Rohani Ma’rifatullah


1. Cita Rasa (Dzauq)

Cita rasa adalah pengalaman spiritual langsung. Dzauq merupakan tahapan atau lebih tepatnya, haal (kondisi spiritual) pertama dalam pengalaman pengungkapan diri Allah (tajalli). Rasa ini diperoleh dari perjalanan rohani dalam berbagai maqamat, serta berbagai perilaku dzikir dari seorang sufi.


Dari dzauq, perjalanan seorang sufi terus diarahkan pada kemenyatuan (larut dalam Keesaan) yang sering disebut juga sebagai “syurb” (minuman dari hidangan rohani Illahi). Sehingga dahaga spiritual yang dirasakan menjadi terpuaskan. Terkadang proses ini juga diikuti dengan tahapan
sukr (kemabukan spiritual), yang secara tidak sadar, atau diluar kendali diri kemanusiaannya sering memunculkan pertanyaan dan kata-kata serta ungkapan spiritual (syathahat). Hal ini terjadi karena rasa keterkuasaan oleh wujud Tuhan dalam rohaninya.

Pencapaian Ma’rifatullah dan Manunggaling Kawula Gusti


Syekh Siti Jenar menyatakan dalam Serat Syekh Siti Jenar Pupuh III Dandanggula, 242-44, “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran berasal dari pancaindera. Tapi itu tetap tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih , bingung, lupa tidur, dan seringkali tiak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. dengki dapat pula menuju perbuatan jahat dan menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai demikian jauhnya, baru orang akan menyesalkan perbuatannya.”

Meditasi menuju kemanunggalan

Apa yang dikemukakan dibawah ini hanyalah sebagai pondasi atau landasan dasar perjalanan menuju Allah. Jadi setelah memperoleh pengalaman spiritual dari lelaku dibawah ini, bukan berarti bahwa perjalanan spiritual sudah diperoleh sempurna. Akan tetapi paling tidak dengan perjalanan ma’’rifat dasar berikut ini akan menjadi awal yang sangat baik untuk melanjutkan lelaku dan pengalaman spiritual lanjut.

Untuk memperoleh hasil optimal, maka praktik meditasi (khalwat, I'tikaf, atau tahannuts) dilaksanakan dengan urutan-urutan sebagai berikut:

TUJUAN DAN KEGUNAAN ILMU HENING


Adapun pelaksanaan semedi seperti dituturkan di atas juga bisa diringkas. Yang penting kita selalu terus menerus dan tiada putus melakukan laku naik turunnya napas, dengan duduk, berjalan atau bekerja. Tidak boleh ketinggalan mengendalikan keluar masuknya napas yang disertai dengan pembacaan mantera “hu-ya” atau “Allah-hu” atau “hu-Allah”.

Kecuali itu wirid yang disebut
daiwan masih memiliki maksud yang lain lagi. Yaitu memiliki pengertian panjang tanpa ujung, atau langgeng. Adapun maksud penyebutan bahwa napas kita itu menjadi keberadaan hidup kita yang langgeng (abadi) yaitu dengan adanya napas (ambegan) kita. Adapun ambegan itu ternyata dikarenakan adanya angin (udara/oksigen) yang selalu keluar masuk tanpa henti. Bersamaan dengan proses perjalanan daran (dan ruh). Apabila keduanya berhenti dan tidak bekerja lagi, maka disebut dengan “mati”. Yaitu rusaknya wadag kembali menjadi barang baru lagi. Oleh karena itu sebaiknya perjalanan napas atau ambegan kita harus selalu keluar masuk tanpa henti. Harus dipanjang-panjangkan proses perjalanannya agar umur kita menjadi panjag dan bisa menjadi awet berada di dunia ini smapai tutug (selesai) pandangan kita kepada anak, cucu, buyut, canggah, wareng dan seterusnya.