Bab pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut Naksyabandiyah dan Syatariyah, yang kemudian disebutkan sebagai wewiridan dari Syekh Siti Jenar, sudah dijelaskan diatas, hanya saja aplikasinya tidak dijelaskan secara rinci. Disini hanya akan menjelaskan lelaku aplikatif terhadap semedi secara Jawa, yang belum terpengaruh oleh agama apapun, yaitu seperti dibawah ini.
Para pembaca, agar jangan keliru atau salah terima, apabila ada anggapan bahwa semedi ini menghilangkan rahsanya hidup atau nyawa ( hidupnya ) keluar dari badan wadag. Penerimaan seperti itu, pada mulanya berasal dari cerita perjalanan Sri Kresna di Dwarawati, atau sang Arjuna ketika angraga-sukma. Agar diperhatikan, bahwa cerita seperti itu tetap hanya sebagai persemuan atau perlambang (symbol, bukan hal atau cerita yang sebenarnya). Adapun uraian mengenai lelaku semedi sebagai berikut. Istilah semedi sama dengan sarasa, yaitu rasa-tunggal, maligini rasa (berbaur berjalannya rasa), rasa jati, rasa ketika belum mengerti. Adapun matangnya perilaku atau pengolahan (makarti) rasa disebabkan dari pengelolaan atau pengajaran, ataupun pengalaman-pengalaman yang terterima atau tersandang pada kehidupan keseharian. Olah rasa itulah yang disebut pikir, muncul akibat kekuatan pengelolaan, pengajaran atau pengalaman tadi. Pikir lalu memiliki anggapan baik dan jelek, kemudian memunculkan tata-cara, penampilan dan sebagainya yang kemudian menjadi kebiasaan (pakulinan /adat ). Apapun anggapan baik-buruk, yang sudah menjadi tata cara disebabkan telah menjadi kebiasaan itu, kalau buruk, ya betul-betul buruk, dan kalau baik, ya memang baik sesungguhnya. Dan itu semua belum tentu, karena semua itu hanyalah kebiasaan anggapan. Adapun anggapan (penganggep), belum pasti, tetap hanya menempati kebiasaan tata cara (adat), jadi ya bukan kesejatian dan bukan kenyataan (real).
Apa yang dimaksudkan semedi disini, tidak ada lain kecuali hanya untuk mengetahui kesejatian dan kasunyatan. Adapun sarananya tidak ada lagi kecuali hanya mengetahui atau menyilahkan anggapan dari perilaku rasa, yang disebut hilang-musnahnya papan dan tulis. Ya disitu itu tempat beradanya rasa-jati yang nyata, yang pasti, yang melihat tanpa ditunjukan (weruh tanpa tuduh). Adapun terlaksananya harus mengendalikan segala sesuatunya ( hawa nafsu dan amarah ), disertai dengan membatasi dan mengendalikan perilaku (perbuatan anggota badan). Pengendalian anggota tadi, yang lebih tepat adalah dengan tidur terlentang, disertai dengan sidhakep (tangan dilipat didada seperti takbiratul ihram, atau seperti orang meninggal) atau tangan lurus kebawah, telapak tangan kiri kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki lurus, telapak kaki yang kanan menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu kemduian disebut dengan sidhakep suku(saluku) tunggal. Ataupun juga dengan mengendalikan gerakan mata, yaitu yang disebut meleng. Lelaku seperti itu dilakukan bagi yang kuasa mengendalikan gerak-bisik cipta (gagasan, ide, olah pikir), serta mengikuti arus aliran rahsa, adapun pancer-nya (arah pusat) penglihatan diarahkan dengan memandang pucuk hidung, keluar dari antara kedua mata, yaitu di papasu, adapun penglihatannya dilakukan harus dengan memejamkan kedua mata.
Selanjutnya adalah menata keluar masuknya napas, seperti berikut, Napas ditarik dari arah pusar, digiring naik melebihi pucuk tenggorokan hingga sampai di suhunan (ubun-ubun), kemudian ditahan beberapa saat. Proses penggiringan atau pengaliran napas tapi ibarat memiliki rasa mengangkat apapun, adapun kesungguhannya seperti yang kita angkat, itu adalah mengalirnya rasa yang kita pepet dari penggiringan nafas tadi. Kalau sudah terasa berat penyanggaan ( penahanan) napas, kemudian diturunkan secara pelan-pelan. Lelaku seperti itu yang disebut sastra-cetha. Maksudnya sastra adalah tajamnya pengetahuan, cetha adalah mantapnya suara dipita suara (cethak), yaitu cethak (diujung dalam dari lidah) mulut kita. Maka disebut demikian, ketika kita melaksanakan proses penggiringan napas melebihi dada kemudian naik lagi melebihi cethak hingga sampai ubun-ubun. Kalau napas kita tidak dikendalikan, jadi kalau hanya menurutkan jalannya napas sendiri, tentu tidak bisa sampai di ubun-ubun, sebab kalau sudah sampai tenggorokan langsung turun lagi.
Apalagi yang disebut daiwan ( dawan ), yang memiliki maksud : mengendalikan keluar masuknya napas yang panjang lagipula disertai dengan sareh (kesadaran penuh dan utuh), serta mengucapkan mantra yang diucapkan dalam batin, yaitu ucapan “hu” disertai dengan masuknya napas, yaitu penarikan napas dari pusar naik sampai ubun-ubun. Kemudian “Ya” disertai dengan keluarnya nafas, yaitu turunnya nafas dari ubun-ubun sampai pada pusar; naik turunnnya nafas tadi melebihi dada dan cethak (pita suara). Adapun hal itu disebut sastra – cetha. Karena ketika mengucapkan dua mantra sastra: “hu-ya”, keluarnya suara hanya dibatin saja, juga kelihatan dari kekuatan cethak (tenggorokan). (Ucapan dan bunyi mantra atau dua penyebutan ; “hu-ya” pada wirid Naksyabandiyah berubah menjadi ucapan; “hu-Allah”, penyebutannya juga disertai dengan perjalanan nafas. Adapun wiridan Syatariyah, penyebutan tadi berbunyi; [ la illaha illa Allah], tetapi tanpa pengendalian perjalanan nafas.)
Untuk masuk keluarnya nafas seperti tersebut diatas, satu angkatan hanya mampu mengulangi tiga kali ulang, walau demikian, karena nafas kita sudah tidak sampai kuat melakukan lagi, karena sudah berat rasanya ( menggeh-menggeh / ngos-ngosan ). Adapun kalau sudah sareh (sadar-normal), ya bisa dilaksanakan lagi, demikian seterusnya sampai merambah semampunya, karena semakin kuat tahan lama, semakin lebih baik. Adapun setiap satu angkatan lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya tri = tiga, pandu = Suci, rat = Jagat = Badan = Tempat. Maksudnya adalah tiga kali nafas kita dapat menghampiri jagat besar Yang Maha Suci bertempat didalam suhunan ( yang dimintai ). Yaitulah yang dibahasakan dengan pawirong kawulo Gusti, maksudnya kalau nafas kita pas naik, kita berketempatan Gusti, dan ketika turun, kembali menjadi kawula. Tentang masalah ini, para pembaca hendaklah jangan salah terima! Adapun maksud disebutnya kawula-Gusti, itu bukanlah nafas kita, akan tetapi daya ( kekuatan ) cipta kita. Jadi olah semedi itu, pokoknya kita harus menerapkan secara konsisten, membiasakan selalu melaksanakan keluar-masuk dan naik-turunnya nafas, disertai dengan mengheningkan penglihatan, sebab pengliahatan itu terjadi dari rahsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar