Dzat Wujud

43.“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”

Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.

Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.


44.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” .

Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.


45.“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” .

Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.

Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.
46.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” .

Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.


47.“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.”
 48.Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. .

Bis.............................. kedudukannya............. ubun-ubun
Millah...........................kedudukannya..... .........rasa
Al-Rahman-al-Rahim.......kedudukannya...............penglihatan (lahir batin)
Al-hamdu.....................kedudukannya............ ...hidupmu (manusia)
Lillahi...........................kedudukannya.... ..........cahaya
Rabbil-‘alamin................kedudukannya..............n yawa dan napas
Al-Rahman al-Rahim.......kedudukannya...............leher dan jakun
Maliki..........................kedudukannya...... .........dada
Yaumiddin....................kedudukannya......... ......jantung (hati)
Iyyaka........................kedudukannya........ .......hidung
Na’budu.......................kedudukannya........ .......perut
Waiyyaka nasta’in.........kedudukannya................dua bahu
Ihdinash......................kedudukannya........ ........sentil (pita suara)
Shiratal.......................kedudukannya....... .........lidah
Mustaqim.....................kedudukannya......... ......tulang punggung (ula-ula)
Shiratalladzina..............kedudukannya......... .......dua ketiak
An’amta.......................kedudukannya........ ........budi manusia
‘alaihim........................kedudukannya...... .........tiangnya (pancering) hati
Ghairil.........................kedudukannya...... ..........bungkusnya nurani
Maghdlubi....................kedudukannya......... .......rempela/empedu
‘alaihim........................kedudukannya...... ..........dua betis
Waladhdhallin...............kedudukannya.......... ......mulut dan perut (panedha)
Amin...........................kedudukannya....... .........penerima

Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.

Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).



49.“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” .

Syekh Siti Jenar menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci terjerat badan wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang menguburkan kebenaran sejati, dan berusaha mengubur kesadaran Ingsun Sejati.
50.“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya.” .
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak akan menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali saja.” .

Ini adalah pandangan Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut Syekh Siti Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera, akal-nalar, dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa dijadikan pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah manunggallah yang betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya, konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa baginya Muhammad bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan ajaran Islam secara gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa, kecuali hanya untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang bersifat aktif. Dalam memahami konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa syafa’at tidak bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian hari. Justru syafa’at Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya Muhammad, me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan asmanya. Rahasia asma Allah dan asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk diimani, tetapi harus merasuk dalam Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk menyatu cahaya dengan Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses Manunggaling Kawula-Gusti.


51.“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.

Syekh Siti Jenar menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan manusia. Segala sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang natural (alami), tanpa rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya memenuhi penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik Dirinya Sendiri. Jadi seluruh manusia masing-masing mamiliki hak mengelola alam. Alam bukan milik negara atau raja, namun milik manusia bersama. Maka setiap orang harus memiliki dan diberi hak kepemilikan atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan ada juga yang harus dimiliki secara kolektif.
Dari wejangan Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam semesta adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam yang kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala sesuatu yang ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh manusia. Dan nama-nama itu seluruhnya akan kembali kepada Sang Pemilik Nama yang sesungguhnya.