8.“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.
Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.
9.“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.”
“Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
“Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing mengasingkan.
Kesejatian Hidup dan Kehidupan
10.“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.
11.“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah.
” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.
” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.
Tuhan dan Kemanusiaan
12.“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab\jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan di luarnya.
13."Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa." (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
14.“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
*)sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta makhluk lainnya…allahu akbar
15.“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya. Dengan badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala kehidupan yang juga sempurna.
16.“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi manunggal.
Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau “dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami.
Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau “dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami.
17.“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati, kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam al-Ghaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar
18.“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu ma’rifat secata bertahap, yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-kamil), serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1) Pertama-tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu sangkan-paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham keempat, ia menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar