Syekh Siti Jenar memberikan makna aplikatif zakat sebagai sikap menolong orang lain dari penderitaan dan kekurangan. Menolong orang lain agar dapat hidup, menikmati hidup, sekaligus mampu bereksis menjalani kehidupan. Syekh Siti Jenar sendiri bertani yang merupakan pekerjaan favorit pada masa hidupnya. Namun tidak semua masyarakat petani berhasil hidupnya sebagaimana pula tidak selalu berhasil baik dari panennya. Yang tidak berhasil panennya tentu mengalami kekurangan bahkan kelaparan. Syekh Siti Jenar selalu membantu mereka yang kurang berhasil tadi dengan memberikan sebagian hasil panennya dari tanahnya yang luas kepada mereka itu. Inilah yang disebut sebagai zakat secara fungsional.
Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka. “Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barangsiapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasannya, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya.” (QS Al-An’am/6: 160)
Sebagaimana makna katanya, zakat memiliki kegunaan sebagai arena pembersihan harta dan jiwa. Terutama membersihkan dari keegoan, sehingga tujuan zakat rohani menjadi tercapai. “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak”.(QS Al Hadid/57:11). Inilah hakikat pahala zakat, baik jasmani maupun rohani.
Sehingga terhadap harta pinjaman dan titipan dari Allah, kita melakukan penyucian diri dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal jariyah. Dalam hal inilah, patokan kita bukan sekedar patokan minimal 2,5%, namun bisa lebih dari itu. Bahkan para sufi terkadang berzakat 100% dari seluruh harta yang diterimanya. Selain ia membersihkan dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan diri dari siksa sengsara akhirat. Betapa beruntungnya para pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nantinya. “Mereka yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah.” (Sabda Nabi).
Jadi, pemahaman sufi atas harta jelas. Harta dan semua yang ada adalah milik Tuhan. Manusia diberi limpahan-Nya agar digunakan sebagai alat bagi perjalanan rohaninya menuju Tuhan. “Kamu tidak akan sampai kepada ketaatan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran/3:92). Zakat bagi para sufi merupakan langkah untuk memberikan “kado” atau hadiah terindah untuk Tuhan, sekaligus untuk manusia dengan disertai kebersihan niat jiwa, dan kesucian hati. Tegasnya, sebagaimana dikemukakan Syekh Siti Jenar, zakat adalah kesediaan untuk menolong manusia yang kekurangan, baik harta fisik maupun harta rohani sehingga mereka terhindar dari kemiskinan, kekurangan, kelaparan fisik maupun spiritual. Betapa indahnya dunia jika dihuni manusia sufi seperti ini.
Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka. “Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barangsiapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasannya, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya.” (QS Al-An’am/6: 160)
Sebagaimana makna katanya, zakat memiliki kegunaan sebagai arena pembersihan harta dan jiwa. Terutama membersihkan dari keegoan, sehingga tujuan zakat rohani menjadi tercapai. “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak”.(QS Al Hadid/57:11). Inilah hakikat pahala zakat, baik jasmani maupun rohani.
Sehingga terhadap harta pinjaman dan titipan dari Allah, kita melakukan penyucian diri dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal jariyah. Dalam hal inilah, patokan kita bukan sekedar patokan minimal 2,5%, namun bisa lebih dari itu. Bahkan para sufi terkadang berzakat 100% dari seluruh harta yang diterimanya. Selain ia membersihkan dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan diri dari siksa sengsara akhirat. Betapa beruntungnya para pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nantinya. “Mereka yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah.” (Sabda Nabi).
Jadi, pemahaman sufi atas harta jelas. Harta dan semua yang ada adalah milik Tuhan. Manusia diberi limpahan-Nya agar digunakan sebagai alat bagi perjalanan rohaninya menuju Tuhan. “Kamu tidak akan sampai kepada ketaatan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran/3:92). Zakat bagi para sufi merupakan langkah untuk memberikan “kado” atau hadiah terindah untuk Tuhan, sekaligus untuk manusia dengan disertai kebersihan niat jiwa, dan kesucian hati. Tegasnya, sebagaimana dikemukakan Syekh Siti Jenar, zakat adalah kesediaan untuk menolong manusia yang kekurangan, baik harta fisik maupun harta rohani sehingga mereka terhindar dari kemiskinan, kekurangan, kelaparan fisik maupun spiritual. Betapa indahnya dunia jika dihuni manusia sufi seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar