Selain sebagai “Bapak Filsafat Eksistensialisme Islam-Jawa”, Syekh Siti Jenar juga dikenal sebagai auliya’ yang mengakomodasi pola meditasi sebagai bagian dari konteks spiritualitas islam. Akibatnya, dikemudian hari Syekh Siti Jenar juga disebut sebagai “Bapak Ilmu Hening Jawa”.
Pada masa modern kemudian terbukti bahwa dalam mistisisme dikenal suatu cara meditasi atau jalan penempuhan mistik yang jelas alurnya. Yang menurut Evelyn Underhill (1955:75) memiliki stadium secara umum:
a. bangkitnya kesadaran (awakening) yang juga merupakan kebangunan diri pribadi kea rah realitas Ketuhanan. Pada stadium ini individu mengalami eksaltasi (penyaksian keagungan, kemuliaan yang luar biasa) dengan kegembiraan yang terlampaui.
b. Pertobatan diri atau penghancuran dosa diri (purgation), suatu stadium kesediaan dan usaha, muncul setelah merasakan keindahan Tuhan, sehingga ia berusaha membenahi diri (self discipline) dalam bentuk meditasi dan mematikan hawa nafsu.
c. Pencerahan diri (illumination), stadium kegembiraan yang sebenarnya menjurus ke satu eksaltasi, terlepas dari kehidupan alam fana dan muncul kesadaran akan kehadiran Tuhan. Ketiga hal tersebut merupakan awal kehidupan mistik.
d. Pembersihan diri (purification) dari “malam gelap jiwa” (the dark night state), sehingga membentuk kesempurnaan pribadi. Mulai ada kesadaran antara kehadiran Tuhan dengan penyatuan dirinya dengan Tuhan. Untuk proses penyatuan sempurna ia mematikan dan menghilangkan naluri manusiawi (human instince) agar tercapai perasaan bahagia dan ia menjadi pasif.
e. Puncaknya adalah keadaan menyatu atau persatuan (the unity of state) dan kehidupan absolute, bersatu dengan Tuhan sehingga jiwanya telah memasuki alam yang tidak terbatas dan keabadian.
Jelas bahwa Underhill melihat pengalaman keagamaan menyangkut perjuangan diri, melampaui tahap demi tahap proses dengan perjuangan berat sehingga membentuk citra pribadi yang kuat demi keinginan kebersamaan dengan Tuhan. (Dalam ilmu tasawuf perjuangan melampaui tahap demi tahap pencapaian diri disebut al maqamat. Sedang pencitraan pribadi yang kuat sebagai hasilnya disebut sebagai al-ahwal. Sehingga disebutkan bahwa al maqam merupakan hasil dari usaha, sedangkan al-hal merupakan anugerah). Semua itu dalam system ajaran Syekh Siti Jenar diaplikasikan secara utuh sebagai proses kedirian yang konsisten, sistematis dan memusat.
Abraham W.Maslow (Toward:74-94) melukiskan karakteristik dan identitas personal orang yang mengalami pengalaman puncak (peak experience) yang disampaikan dlm buku Toward Psychology of Being :
1. individu yang berada pada pengalaman puncak merasakan menyatu (integrated) dengan segala sesuatu, dirinya , lingkungan, dan alam. Sikapnya juga lebih focus, serasi, efisien, sinergi dan tidak mengalami friksi internal. Secara alamiah ia mudah melebur dengan dunia yang bukan merupakan pribadi. Inilah pencapaian terbesar dari identitas peak experience.
2. ia merasakan dirinya berada di puncak kekuatan. Mampu memanfaatkan kapasitasnya secara penuh, fungsi dirinya utuh menyeluruh (fully function), merasa lebih cerdas, peka, humoris, dan mulia disbanding waktu-waktu biasa. Pencapaian kondisi dan kekuatan tersebut seakan dating dengan sendirinya, sehinga ia tidak mengalami kesukaran atau penurunan fungsi sebagaimana terjadi pada waktu lain.
3. lebih merasa menjadi dirinya sendiri, percaya diri, bertanggung jawab, aktif dan kreatif dalam aktivitas. Ia merasa sebagai penentu utama bagi dirinya.
4. memiliki sikap inklusif, terbebas dari sekat-sekat segala sesuatu. Tanpa memiliki beban rintangan, keilmuan tertentu dan tidak takut pada kritik pribadi. Terlepas dari kondisi subyektif atau obyektif, nilai positif atau negative dari sikap itu.
5. dengan karakteristik kebebasan yang dimiliki, ia cenderung lebih spontan, ekspresif, berpikir cepat, terbuka, sederhana, jujur, ikhlas, polos, santai dan alamiah. Inilah karakteristik otentik seseorang yang mengalami pengalaman puncak. Dengan jiwa kesatuan dan individualitasnya, ia memiliki corak khas yang berbeda disbanding orang lain.
6. pribadi orang itu seperti dewa. Tidak memiliki motovasi atau keinginan, kebutuhan, serta harapan, terutama yang mengarah pada ketidak baikan. Ia bersifat tidak membutuhkan sesuatu, walaupun ia kreatif, itu dilakukannya tanpa pamrih. Dia melakukan sesuatu apa yang seharusnya ia lakukan.
7. ia merasakan puncak kenikmatan, pembebasan, perasaan terharu, kesempurnaan atau perwujudan. Dunia menjadi tampak sempurna, indah, adil, dan seakan menyatu dalam rantai cosmic-connection (saling berkaitan, saling melengkapi, dan sinergi)
8. setelah selesai dari pengalaman puncak, ia merasakan kelegaan luar biasa, keberuntungan yang tidak terduga, karena hal itu terjadi dengan sendirinya, tanpa perencanaan, dan reaksinya tidaklah pernah diharapkan.
9. sebagai akhirnya, ia menjadi hamba yang selalu bersyukur serta selalu berterimakasih kepada apa/siapa saja. Dan segala sesuatu yang menyebabkan keberuntungan itu teralami.
Bandingkan kenyataan-kenyataan tersebut dengan berbagai keadaan, ajaran dan pengalaman spiritual sebagaimana yang telah ditulis di halaman-halaman awal thread ini (yang diambil dari buku Sufisme Syekh Siti Jenar, kajian Serat dan Suluk Siti Jenar, 2004). Sikap-sikap Syekh Siti Jenar akomodatif terhadap kebudayaan Jawa, inklusif terhadap agama lain, dan semangat pembelaannya terhadap rakyat tidak lain merupakan buah dari spiritualitasnya.
Pengalaman keagamaan berikut pencapaian ma’rifatullah merupakan sesuatu yang sulit diukur, tidak bersifat absolute, dan tentu saja tidak akan pernah selesai untuk dikaji. Sebaliknya penelitian tentang pengalaman keagamaan juga tidak mungkin akan pernah selesai, karena setiap saat pengalaman itu akan juga akan bertambah, baik kuantitas maupun kualitas serta bertambahnya pelaku dan penikmat. Sedang pada pelaku masing-masing juga mengalami penambahan di segala pengalaman keagamaannya.
Bagi Syekh SIti Jenar, misteri tersebut bukanlah sesuatu yang tidak bisa dipecahkan. Hanya saja caranya harus dengan memasuki misteri itu sendiri, bukan hanya mengamatinya dari luar serta memberikan penilaian dari luar pagar. Misteri tersebut akan terpecahkan dengan memasukinya dan mengalaminya.
Pada masa modern kemudian terbukti bahwa dalam mistisisme dikenal suatu cara meditasi atau jalan penempuhan mistik yang jelas alurnya. Yang menurut Evelyn Underhill (1955:75) memiliki stadium secara umum:
a. bangkitnya kesadaran (awakening) yang juga merupakan kebangunan diri pribadi kea rah realitas Ketuhanan. Pada stadium ini individu mengalami eksaltasi (penyaksian keagungan, kemuliaan yang luar biasa) dengan kegembiraan yang terlampaui.
b. Pertobatan diri atau penghancuran dosa diri (purgation), suatu stadium kesediaan dan usaha, muncul setelah merasakan keindahan Tuhan, sehingga ia berusaha membenahi diri (self discipline) dalam bentuk meditasi dan mematikan hawa nafsu.
c. Pencerahan diri (illumination), stadium kegembiraan yang sebenarnya menjurus ke satu eksaltasi, terlepas dari kehidupan alam fana dan muncul kesadaran akan kehadiran Tuhan. Ketiga hal tersebut merupakan awal kehidupan mistik.
d. Pembersihan diri (purification) dari “malam gelap jiwa” (the dark night state), sehingga membentuk kesempurnaan pribadi. Mulai ada kesadaran antara kehadiran Tuhan dengan penyatuan dirinya dengan Tuhan. Untuk proses penyatuan sempurna ia mematikan dan menghilangkan naluri manusiawi (human instince) agar tercapai perasaan bahagia dan ia menjadi pasif.
e. Puncaknya adalah keadaan menyatu atau persatuan (the unity of state) dan kehidupan absolute, bersatu dengan Tuhan sehingga jiwanya telah memasuki alam yang tidak terbatas dan keabadian.
Jelas bahwa Underhill melihat pengalaman keagamaan menyangkut perjuangan diri, melampaui tahap demi tahap proses dengan perjuangan berat sehingga membentuk citra pribadi yang kuat demi keinginan kebersamaan dengan Tuhan. (Dalam ilmu tasawuf perjuangan melampaui tahap demi tahap pencapaian diri disebut al maqamat. Sedang pencitraan pribadi yang kuat sebagai hasilnya disebut sebagai al-ahwal. Sehingga disebutkan bahwa al maqam merupakan hasil dari usaha, sedangkan al-hal merupakan anugerah). Semua itu dalam system ajaran Syekh Siti Jenar diaplikasikan secara utuh sebagai proses kedirian yang konsisten, sistematis dan memusat.
Abraham W.Maslow (Toward:74-94) melukiskan karakteristik dan identitas personal orang yang mengalami pengalaman puncak (peak experience) yang disampaikan dlm buku Toward Psychology of Being :
1. individu yang berada pada pengalaman puncak merasakan menyatu (integrated) dengan segala sesuatu, dirinya , lingkungan, dan alam. Sikapnya juga lebih focus, serasi, efisien, sinergi dan tidak mengalami friksi internal. Secara alamiah ia mudah melebur dengan dunia yang bukan merupakan pribadi. Inilah pencapaian terbesar dari identitas peak experience.
2. ia merasakan dirinya berada di puncak kekuatan. Mampu memanfaatkan kapasitasnya secara penuh, fungsi dirinya utuh menyeluruh (fully function), merasa lebih cerdas, peka, humoris, dan mulia disbanding waktu-waktu biasa. Pencapaian kondisi dan kekuatan tersebut seakan dating dengan sendirinya, sehinga ia tidak mengalami kesukaran atau penurunan fungsi sebagaimana terjadi pada waktu lain.
3. lebih merasa menjadi dirinya sendiri, percaya diri, bertanggung jawab, aktif dan kreatif dalam aktivitas. Ia merasa sebagai penentu utama bagi dirinya.
4. memiliki sikap inklusif, terbebas dari sekat-sekat segala sesuatu. Tanpa memiliki beban rintangan, keilmuan tertentu dan tidak takut pada kritik pribadi. Terlepas dari kondisi subyektif atau obyektif, nilai positif atau negative dari sikap itu.
5. dengan karakteristik kebebasan yang dimiliki, ia cenderung lebih spontan, ekspresif, berpikir cepat, terbuka, sederhana, jujur, ikhlas, polos, santai dan alamiah. Inilah karakteristik otentik seseorang yang mengalami pengalaman puncak. Dengan jiwa kesatuan dan individualitasnya, ia memiliki corak khas yang berbeda disbanding orang lain.
6. pribadi orang itu seperti dewa. Tidak memiliki motovasi atau keinginan, kebutuhan, serta harapan, terutama yang mengarah pada ketidak baikan. Ia bersifat tidak membutuhkan sesuatu, walaupun ia kreatif, itu dilakukannya tanpa pamrih. Dia melakukan sesuatu apa yang seharusnya ia lakukan.
7. ia merasakan puncak kenikmatan, pembebasan, perasaan terharu, kesempurnaan atau perwujudan. Dunia menjadi tampak sempurna, indah, adil, dan seakan menyatu dalam rantai cosmic-connection (saling berkaitan, saling melengkapi, dan sinergi)
8. setelah selesai dari pengalaman puncak, ia merasakan kelegaan luar biasa, keberuntungan yang tidak terduga, karena hal itu terjadi dengan sendirinya, tanpa perencanaan, dan reaksinya tidaklah pernah diharapkan.
9. sebagai akhirnya, ia menjadi hamba yang selalu bersyukur serta selalu berterimakasih kepada apa/siapa saja. Dan segala sesuatu yang menyebabkan keberuntungan itu teralami.
Bandingkan kenyataan-kenyataan tersebut dengan berbagai keadaan, ajaran dan pengalaman spiritual sebagaimana yang telah ditulis di halaman-halaman awal thread ini (yang diambil dari buku Sufisme Syekh Siti Jenar, kajian Serat dan Suluk Siti Jenar, 2004). Sikap-sikap Syekh Siti Jenar akomodatif terhadap kebudayaan Jawa, inklusif terhadap agama lain, dan semangat pembelaannya terhadap rakyat tidak lain merupakan buah dari spiritualitasnya.
Pengalaman keagamaan berikut pencapaian ma’rifatullah merupakan sesuatu yang sulit diukur, tidak bersifat absolute, dan tentu saja tidak akan pernah selesai untuk dikaji. Sebaliknya penelitian tentang pengalaman keagamaan juga tidak mungkin akan pernah selesai, karena setiap saat pengalaman itu akan juga akan bertambah, baik kuantitas maupun kualitas serta bertambahnya pelaku dan penikmat. Sedang pada pelaku masing-masing juga mengalami penambahan di segala pengalaman keagamaannya.
Bagi Syekh SIti Jenar, misteri tersebut bukanlah sesuatu yang tidak bisa dipecahkan. Hanya saja caranya harus dengan memasuki misteri itu sendiri, bukan hanya mengamatinya dari luar serta memberikan penilaian dari luar pagar. Misteri tersebut akan terpecahkan dengan memasukinya dan mengalaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar