MENGHADAP DAN BERTEMU ALLAH

Islam dalam hal ini bermakna “sumarah marang Gusti”, sikap rasa kepasrahan total kepada Tuhan sehingga mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan hakiki. Sehingga apa yang disebut sebagai “rukun Islam” (al-arkan al-islam) tidak lain adalah cara, metode dan strategi untuk memperoleh garansi keselamatan dan kesejahteraan Tuhan. Dan jaminan tersebut akan mutlak jika manusia berhasil mendapatkan maqamat kemanunggalan, dimana iradat dan kodrat-nya menyatu dengan iradat dan kodrat Allah. Asma’, sifat dan af’al-nya manunggal dengan asma’, sifat dan af’al Allah. Al-Qur’an menggunakan istilah “liqa” (pertemuan tanpa jarak, dan perantara)untuk hal ini. Dalam sufisme hal ini bisa bermakna fana’, baqa’, ittihad, atau hulul tergantung proses dan lelaku spiritual yang ditempuh. Syarat utamanya adalah iman dan amal shaleh, yang tidak lain adalah lelaku spiritual, pengalaman spiritual, dan perilaku hamemayu ayuning bawana langgeng (rahmatan li al’alamin).


Sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits qudsi, bahwa bila seorang hamba datang kepada-Nya dengan kehendak dan keinginan hati yang tulus, maka Tuhan akan mengimbanginya serta menghampirinya. Tuhan bahkan akan memberinya pujian yang agung kepada dirinya. Sebagai hasilnya, Tuhan bersedia menjadi pendengaran, penglihatan, pengucapan dan tindakan dari hamba tersebut, yang dengan kata lain, Tuhan mau “turun” (tanazzul) kepada diri sang hamba tersebut. Bagi hamba yang kemudian mencapai hakikat pemujaan, maka dia akan memperoleh wujud sifat “jamal” Allah, keindahan Allah (Chodjim:2003, 203). Hidupnya akan terasa tenteram, bahagia, sejahtera meskipun secara duniawi tampak tidak memiliki apa-apa. Karena hakikat kepemilikan adalah kekayaan hati dan kepuasan rohani. Di situlah terdapat sumber kekayaan hidup karena di dalamnya bersemayam Allah sebagai “ kanzun makfiyyun” (mutiara tersembunyi) dalam hati yang pasrah, sumarah dan menyatuka diri dengan-Nya. Memang harta benda perlu dicari sebagai kodrat badan wadaq, dan sebagai salah satu unsur yang memberikan kemudahan hisup di dunia fana ini. Namun letak kebahagiaan bukanlah pada hal-hal yang material itu. Semua yang ada di dunia hanya bersifat maya belaka. Maka, Allahlah sumber kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan dankeselamatan.


Ketika kesempurnaan jamal Allah telah dimiliki, maka sang hamba kemudian berhiaskan sifat kamal Allah, kesempurnaan dan keutuhan Tuhan. Disini akan terjadi pengalaman bahwa hakikat rasa adalah tumbuhnya kemampuan nyata untuk merasakan kehadiran Allah. Kemampuan untuk melihat wajahNya (musyahadah). Dan kemampuan untuk menghadap kehadirat-Nya. Oleh karenanya, jiwa dalam hal ini menjadi madeq danmantep dalam mengarungi kehidupan ini.

Madeg adalah kesadaran sepenuhnya bahwa hidup kita telah memiliki potensi sejak kelahiran terdapat bakat berdasarkan ilham ruhiah. Oleh karenanya tidak terdapat rasa dan ketergantungan pada belenggu dunia. Malah pancaran Wajah Illahi-lah yang sealu memasuki kedalaman rasa yang memancarkan kebahagiaan ke seluruh kehidupannya.
Mantep artinya menjadi orang yang tidak ragu-ragu dalam hidup ini. Oleh karena kemantepan-nya maka ia menjalani hidup dengan jujru dna benar yang kemudian akan mencukupkan rezeki yang halal, cukup dan baik. Ia menjalani hidup dengan ketakwaan dan ke-tawakkal-an, yakni sikap hati yang tidak pernah alpa dari Allah, dan sikap hidup yang pasrah dan sumarah atas semua kejadian di dunia sehingga tidak ada sesuatu pun yang sanggup membujuknya. Hasilnya adalah rejeki yang tidak disangka-sangka datangnya, serta keserba kecukupan dalam kehidupannya. Sehingga ia menyadari sepenuhnya bahwa Allahlah yang menjadi sumber keberadaan. Dialah pula pemberi jalan keluar semua yang muncul dalam kehidupan. Dia penguasa semua rejeki dan diri semua makhluk.

“Itulah yang disebut Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-Nya. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yang ia lahirkan. Ia berketetapan hati dan berkiblat setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yang kotor untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi cipta. Siti Jenar berpendapat dan menganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yang sejati, sifat Muhammad yang Kudus.” (serat Syekh Siti Jenar Pupuh III Dandhanggula, 41-42)


Sebagai kelanjutan sikap madeg dan matep, maka hamba yang telah terhias jamal dan kamal Allahjuga memiliki sikap madhep ke arah yang benar, yakni hanya kepada Allah sebagai pusat penghadapan. Semua yang diadakan oleh Allah hakikatnya tidaklah memiliki nilai apa-apa dalam hidup manusia karena yang menjadi sumber segala nilai hanya Allah. Dengan sikap ini, seorang hamba yang manunggal tidak lagi tertipu oleh angan-angan, hatinya tidak lagi memiliki ukiran atas benda dunia, dan tentusaja ia tidak akan pernah berpaling kepada dunia selain Allah. Ia telah berada dalam keadaan “tunggal lawan Sang Hyang Widi”, hamba yang menyatu dengan Allah. Jadi, sebenarnya yang kita hadapi berada dalam diri kita sendiri yang memang Wajahnya terpancar ke seluruh jagad raya. Jaba Jero sami. Kemanapun kita menghadap yang ada hanyalah suwung (kosong) dari selain Allah. Luar dalam sama, yakni yang ada hanya Wujud-Nya. Inilah sikap madhep yang benar. Maka kiblat yang benar adalah hati yang didalamnya menjadi sumber dan bersemayam kemanunggalan sifat, asma’ dan af’al hamba dan Tuhan. Hasilnya adalah keikhlasan dan ketulusan dalam kerangka kemanusiaan dan rahmatan lil ‘alamin. Dengan sikap madhep sepenuhnya ini, hamba didorong untuk bekerja tanpa pamrih dalam mewujudkan
ayuning bawana langeng.

2 komentar:

agunari mengatakan...

mantab gan

Unknown mengatakan...

Ok, nuju nang ati