Pencapaian Ma’rifatullah dan Manunggaling Kawula Gusti


Syekh Siti Jenar menyatakan dalam Serat Syekh Siti Jenar Pupuh III Dandanggula, 242-44, “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran berasal dari pancaindera. Tapi itu tetap tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih , bingung, lupa tidur, dan seringkali tiak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. dengki dapat pula menuju perbuatan jahat dan menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai demikian jauhnya, baru orang akan menyesalkan perbuatannya.”


Akal dalam sistem kerjanya hanya berkisar di sekitar yang diciptakan (kawn), dan jika telah sampai pada pencipta (mukawwin) dan rahasia-rahasianya , akal akan terserap larut. Yang bermain kemudian segenap rasa dan hati yang tercerahkan oleh nur Muhammad dan nur Allah yang hadir langsung karena pengalaman rohani.


Namun bukan berarti bahwa akal kemudian tidak berguna bagi proses pencarian ma’rifat.
Ma’rifat dari segi proses terjadinya terbagi menjadi dua jenis. Ma’rifat pengungkapan (ta’aruf) dan ma’rifat pengajaran (ta’rif). Makna “pengungkapan Diri” adalah bahwa Allah menyebabkan para sufi mengenal-Nya, dan mengenal segala benda melalui Dia. Sementara “pengajaran” adalah bahwa Allah memperlihatkan pada mereka tanda-tanda kekuasaanNya di semesta dan dalam diri mereka sendiri dan kemudian menanamkan dalam diri mereka sebuah karunia khusus (luthf), sehingga kemudian benda-benda yang ada menunjukkan adanya Sang Pembuat. Inilah ma’rifat yang bisa dicapai oleh orang beriman pada umumnya. Bahkan sebagian orang yang belum beriman dapat memperoleh ma’rifat jenis ini yang menyebabkan orang tersebut kemudian larut dalam ma’rifatullah. Pada yang kedua inilah, faktor akal masih memainkan peranan pembuka yang cukup penting. Sementara yang pertama adalah ma’rifat yang hanya bisa dicapai oleh orang terpilih (khawash dan khawash al-khawash) dan menunjukkan bahwa pada hakikatnya tak seorangpun bisa mengenal Allah, kecuali dengan dan melalui Allah sendiri.

Para sufi mengakui bahwa tidak ada orang yang mengenal Tuhan kecuali orang yang berakal, sebab akal itu merupakan suatu alat yang bisa membuat manusia mengetahui apa saja yang bisa diketahuinya. Sekalupun begitu, akal tidak bisa mengetahui Tuhan dengan sendirinya. Ketika Tuhan menciptakan akal, Dia bertanya,”Siapakah Aku ini?”, maka akal itu bungkam. Karena itu Dia mengolesinya dengan Cahaya Keesaan (wahdaniyah). Akal pun membuka matanya seraya berkata,”Engkau Tuhan, tidak ada Tuhan selain Engkau.” Dengan begitu, akal tidak memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan, kecualii lewat perantaraan Dia dalam ma’rifatullah. Dan perantara itu adalah proses suluk, lelaku rohani, sehingga dengan lelaku rohani tersebut ia mampu terserap dalam Nurullah.


Sebaliknya Allah dapat tanazzul ke kedalaman hati. Ruh al-Haqq memasuki relung ruh al-idhafi di kedalaman nurani. Maka jika akal akhirnya hanya mampu menyatakan,”Tidak ada Tuhan selain Engkau”, ruh yang tercerahkan langsung dalam ma’rifatullah sanggup menyatakan,”Akulah Kebenaran”,”Ana al-Haqq”, dan “ingsung anekseni ing datingsun dhewe, satuhune ora ono pangeran among Ingsun”. Syekh Siti Jenar dalam ondisi jadzab-nya menatakan “Sabda suksma, adhep idhep Allah, kan anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa”, yang secara garis besar memiliki makna ”Pernyataan ruh yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.” (Sholikhin:2004,209).


Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar dimana kemampuan ruh yang tercerahkan mampu melampaui akal. Maksudnya adalah suksma (ruh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena dikedalaman ruh batin manusia tersedia cermin yang disebut mir’ah al haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut, akan muncul dan menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka, maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep idhep),”Aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya. Menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti (Sholikhin: 2004, 210).

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Mantab Gan...komplit

Wahyu mengatakan...

Mff suhu yang di pos ini apa layak di publikasi