“Guna mencapai keadaan ekstasi Amongraga melakukan shalat Sunat Awabin dengan enam raka'at dan tiga salam. Sesudah itu olah kiparat wawajuh (pemulihan dan terarah kepada Tuhan) dengan dua salam. Sesudah itu ia duduk tidak bergerak. Sambil mempersiapkan diri untuk manunggal dengan Tuhan. Ia melakukan wirid menurut (tarekat) Isbandiah, Satariah, Jalalah, dan Barjah, terserap olehnya. Ia duduk tersimpuh, hati sanubari dan pernapasan dalam keselarasan. Kemudian tiba-tiba ia mengawali dzikirnya dengan kata-kata, la mujuda ilalahu (tak ada sesuatu selain Allah). Dzat yang niscaya ada, itulah yang menjadi pusat perhatiannya, dasar penyangkalan dan pengakuan. Dengan itulah hatinya diselaraskan. Kepalanya mulai bergerak memutar, silih berganti menyanngkal dan mengakui. Pada lingkaran “lam” terakhir kepalanya bergerak dari pusat ke kiri ke atas. Pada ucapan “ilalah” kepalanya bergerak, ke kanan ke atas ke arah bahunya. Pada saat ia berkata “ila” inderanya memsuki penyangkalan tersembunnyi “ilalah” ialah pengakuan gaib di sebelah kiri dadanya. Demikian “nakirah” menjadi paripurna. Kata-kata “la ilaha ilallahu” didaraskannya 50 kali dalam satu pernapasan. Kemudian 300 kali “ilalah” pada pernapasan berikut. Istirahat sebentar, lalu “hu, hu” 1000 kali dalam satu pernapasan panjang. Demikianlah hatinya naik lepas bebas tanpa rintangan, dengan perantaraan dzikir yang fungsinya hanya sebagai sarana. Suara-suara yang dikeluarkannya tidak ada arti lagi. Segalanya diperbolehkan, entah itu aa, ii, uu atau lain sebagainya, terserah apa saja. Kemudian suara-suara itu tiba-tiba lenyap seperti suara orang-orang (yang tiba-tiba hilang seketika). Pada saat yang sama “bata bata dan bentuk” terlepas, artinya badan dan budi mesing-masing berdiri sendiri-sendiri, ia lenyap dan mekrad (mi'raj), terlebur dalam dzat ilahi, badannya tertinggal bagaikan sebatang glodog.”
“Yang ditinggalkan oleh lebah-lebah, kosong. Kalbunya perupakan ketiadaan sejati, kosong, sepi. Tak ada daratan, maupun laut, terang dan gelap tiada lagi. Yang ada hanya itulah yang meliputi batiniah dan lahiriah di alam gaib. Di sanalah usaha Amongraga untuk mencapai kemanunggalan sampai pada titik penghabisan. Tak ada lagi perbedaan, hanya kesamaan dan sempurna, mereka bukan satu bukan dua lagi. Sesudah tarakki menyusullah tanazzu, ia turun dari alam lahir dan batin (wahyu jatmika), ia memandang lagi tetapi bukan dengan matanya, Dzat Yang Mahaluhur. Di sana terdapat empat hal, sifat jalal yang gaib, Keindahan, Kesempurnaan dan Kekuasaan (jamal, kamal, kahar) yang gaib. Sesudah keluar dari keadaan gaib mulailah perbedaan dua jenis, yaitu Gusti dan kawula.”
“Adapun hakikat Gusti itu ialah jalal, kamal, dan jamal, adapun siat-sifat kawula itu ialah ahadiyah, wahda, wahidiya, alam arwah, (alam) agsam, alam mitsal, dan insan kamil. Perbedaan antara Gusti dan kawula ialah perbedaan antara dua jenis sifat-sifat itu, kecuali bagi manusia yang istimewa (linuhung) yang sudah mengetahui ilmu sejati. Sesudah ekstasinya lewat, ia menyerupai sebutir telur yang jatuh di atas sebuah batu, demikian rasa terkejut di dalam hatinya ketka kembali dalam keadaan makhluk dan melihat kembali keterbatasannya selaku seorang hamba (kawula).Sesudah kemanunggalannya dengan Tuhan larut, ia bernapas panjang sambil mengucapkan satu kali syahadat, la ilaha ilalah, kemudian memanjatkan doa syukur.” <Serat Centini; I, Gambuh bait 48-64, hlm. 951-954>
“Yang ditinggalkan oleh lebah-lebah, kosong. Kalbunya perupakan ketiadaan sejati, kosong, sepi. Tak ada daratan, maupun laut, terang dan gelap tiada lagi. Yang ada hanya itulah yang meliputi batiniah dan lahiriah di alam gaib. Di sanalah usaha Amongraga untuk mencapai kemanunggalan sampai pada titik penghabisan. Tak ada lagi perbedaan, hanya kesamaan dan sempurna, mereka bukan satu bukan dua lagi. Sesudah tarakki menyusullah tanazzu, ia turun dari alam lahir dan batin (wahyu jatmika), ia memandang lagi tetapi bukan dengan matanya, Dzat Yang Mahaluhur. Di sana terdapat empat hal, sifat jalal yang gaib, Keindahan, Kesempurnaan dan Kekuasaan (jamal, kamal, kahar) yang gaib. Sesudah keluar dari keadaan gaib mulailah perbedaan dua jenis, yaitu Gusti dan kawula.”
“Adapun hakikat Gusti itu ialah jalal, kamal, dan jamal, adapun siat-sifat kawula itu ialah ahadiyah, wahda, wahidiya, alam arwah, (alam) agsam, alam mitsal, dan insan kamil. Perbedaan antara Gusti dan kawula ialah perbedaan antara dua jenis sifat-sifat itu, kecuali bagi manusia yang istimewa (linuhung) yang sudah mengetahui ilmu sejati. Sesudah ekstasinya lewat, ia menyerupai sebutir telur yang jatuh di atas sebuah batu, demikian rasa terkejut di dalam hatinya ketka kembali dalam keadaan makhluk dan melihat kembali keterbatasannya selaku seorang hamba (kawula).Sesudah kemanunggalannya dengan Tuhan larut, ia bernapas panjang sambil mengucapkan satu kali syahadat, la ilaha ilalah, kemudian memanjatkan doa syukur.” <Serat Centini; I, Gambuh bait 48-64, hlm. 951-954>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar