23.“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyf.
26.“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh”
(ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh, bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan Bonang, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang,” (Wejangan Walisanga, hlm. 50).
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan sarana ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat.
24.“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu kematian], sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Syahadat Sakarat adalah syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.
25.“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.”
(syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
(syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyf.
26.“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh”
(ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
27.“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”
“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”
Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan “syahadat sakarat wiwitane pati” ini.
7 komentar:
Apa benar yang di ucapakan mbak itu ??
Matur suwun sanget wis konon ba
Kuk akh
Yg penting akeh sholawat...(gus hadiy)
Apakah ujang bustomi melalukan praktik pesugihan/penarikan uang??
Bohong banger,
Tipu
Posting Komentar